Istilah
‘holy’ dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi ‘suci’ dalam bahasa Indonesia. Istilah holy atau suci merupakan istilah dalam
dunia religi yang memiliki makna yang sangat luas. Nathan Soderblom (1866 –
1931) seorang ahli teologi telah mendeskripsikan srtuktur dari konsep suci
mulai dari zaman primitif hingga zaman sekarang dalam tulisannya yang berjudul
“Holiness”. Soderblom adalah seorang
keturunan pendeta Kristen Swedia yang kemudian menjadi Uskup Agung di salah
satu Gereja Kristen Swedia yaitu Gereja Uppsala. Dia juga meraih nobel
perdamaian karena usahanya mengkampanyekan perdamaian dunia pada masa Perang
Dunia I. Dalam tulisannya yang berjudul “Holiness,”
Soderblom memulai argumennya dari konsep tentang holy. Makna yang terdapat dari istilah holy atau suci bahkan lebih dalam daripada gagasan atau konsep
tentang ketuhanan (Soderblom, 1981).
“Holiness is the
great word in religion; it is even more essential then the notion of God. Real
religion may exist without a definite conception of divinity, but there is no
real religion without a distinction between holy and profane.”(Soderblom,
1981: 731)
Soderblom mengemukakan
bahwa di dunia ini ada religi yang bisa
bertahan tanpa adanya konsep ketuhanan, tetapi tidak ada religi di dunia ini
yang bisa lepas dari konsep kesucian. Misalnya
sebagai contoh adalah Buddhisme yang mengutamakan konsep keselamatan dan
ketakwaan dalam religinya, religi Buddhisme ini merupakan contoh religi yang tidak
memiliki konsep tentang ketuhanan (Soderblom, 1981). Ujian-ujian yang dihadapi
oleh para pengikut Buddhisme adalah kesucian. Mereka, para penganut Buddisme
diajarkan untuk menjadi orang suci seperti yang dilakukan oleh Sidharta Gautama
sebagai tokoh panutan dalam religi Buddha. Soderblom menyebutkan bahwa sudah
dari dulu suci memang mengangkat nilai yang penting dalam dunia religi. Hal ini
menunjukan bahwa tidak ada konsep ketuhanan dalam religi yang tidak disertai
dengan konsep kesucian (Schleiermacher dalam Soderblom, 1799). Schleiermacher
menjelaskan bahwa religi yang tidak memiliki konsep tentang kesucian maka
religi tersebut tidak disebut sebagai religi, atau dengan kata lain bukan
religi. Hal ini karena Schleiermancer mendefinisikan bahwa bereligi adalah
jalan manusia untuk mencapai sesuatu yang suci. Religi adalah proses yang harus
dihadapi dan ditempuh manusia. Setiap manusia pasti menempuh religinya
masing-masing untuk mencapai atau mendekatkan diri terhadap kesucian tersebut.
Suci
dapat dilihat sebagai sebuah kekuatan misterius yang mempunyai wujud dan
berhubungan dengan segala hal seperti benda, upacara, dan tindakan (Soderblom,
1980).
“Holiness is
viewed as a mysterious power or entity connected with certain beings, things,
events, or action” (Soderblom, 1981: 731)
Segala hal seperti
benda, upacara, tindakan dalam religi pasti memiliki kekuatan misterius. Akan tetapi,
Soderblom mendefinisikannya lebih luas karena kekuatan misterius yang dimaksud
oleh Soderblom adalah kekuatan misterius baik yang berada di dalam lingkup
religi maupun berada di luar lingkup religi. Kekuatan misterius ini dikenal
dengan istilah misterium tremendum et
fascinans. Kekuatan misterius ini adalah sebuah kekuatan yang tidak bisa
dipahami oleh manusia secara rasional. Kekuatan ini yang menjadi misteri karena
tidak bisa dipecahkan oleh akal pikiran manusia. Kekuatan yang misterius
tersebut menurut Soderblom, sekarang dewasa ini disebut dengan istilah lain
seperti istilah mana dan tabu. Meskipun banyak istilah lain yang
merujuk kepada kekuatan misterius ini, tetapi Soderblom mengkategorikannya secara
umum bahwa semua kekuatan misterius itu masuk ke dalam ruang lingkup kekuatan
suci atau kesucian.
Spencer
dan Gillen menjelaskan bahwa konsep suci sebagai sebuah misteri pertama kali
muncul ketika ada medicine-man atau priest (dalam Soderblom, 1899). Medicine-man atau priest adalah orang yang mampu menyembuhkan orang sakit. Mereka
menggunakan doa atau magis sebagai kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit.
Kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit pada zaman primitif masih dianggap sebagai
kekuatan yang misterius. Kekuatan yang dimiliki oleh medicine-man atau priest kemudian
dianggap sebagai kekuatan suci oleh masyarakat. Lalu sejak saat itu,
kepercayaan akan kekuatan suci yang dimiliki oleh medicine-man atau priest tersebut
menjadi latar belakang dari adanya tindakan purifikasi religius yang
menggunakan religi atau magis untuk menyelamatkan hidup manusia.
Durkheim
menjelaskan bahwa kesucian sebagai kekuatan misterius diharapkan mampu menjadi
jalan keluar dari segala macam hal yang berada di luar kejadian yang normal
atau biasa yang tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia (dalam
Soderblom, 1912). Dengan begini, segala macam hal atau kejadian dan tidak biasa
atau tidak normal, dan juga tidak bisa dijelaskan manusia masuk ke dalam ruang
lingkup kesucian. Segala macam hal atau kejadian yang tidak biasa atau di luar
normal tersebut disebut oleh Durkheim sebagai kesucian. Durkhem juga
menjelaskan bahwa kekuatan suci tidak digunakan secara individu, tetapi
digunakan secaras kolektif dalam masyarakat (dalam Soderblom, 1912). Kekuatan
suci hidup dalam masyarakat dan menjadi harta tersendiri bagi masyarakat. Hal
ini karena kekuatan suci tersebut didirikan, dijaga, dan dilestarikan oleh
masyarakat itu sendiri. Kekuatan suci ini membangun kehidupan dan kebahagiaan
bagi masyarakat supaya masyarakat tersebut tetap berada dalam ruang lingkup
kesucian. Masyarakat kemudian mempertinggi nilai yang terdapat pada kekuatan
misterius atau kesucian, sehingga mempengaruhi tindakan religius mereka yang
membentuk adat istiadat pada masyarakat tersebut. Meski begitu ada pula pihak-pihak
yang menyalahgunakan kekuatan suci ini. Penyalahgunaan kekuatan misterius
tersebut disebut oleh Durkheim dengan istilah ‘sorcery’ (sihir) atau ‘black
art’ (ilmu hitam).
Soderblom
menjelaskan ada dua bentuk tindakan religius yang merujuk kepada kekuatan suci,
yakni tindakan religius dalam bentuk positif dan tindakan religius dalam bentuk
negatif (1980). Kekuatan suci di satu sisi sangat erat nilainya sebagai sumber
kesehatan, keselamatan, makanan, dan kesuksesan. Tetapi di sisi lain kekuatan
suci juga mempunyai hubungan sebagai sumber bahaya. Konsep kekuatan suci yang
memberikan kesehatan, keselamatan, kesuksesan, makanan, dan sebagainya,
menghasilkan tindakan religius bentuk positif. Sekarang contohnya adalah ritual
untuk memperbanyak hasil panen atau diadakannya ritual untuk keselamatan
manusianya. Sedangkan sebaliknya konsep kekuatan suci yang mendatangkan
marabahaya disebut sebagai tindakan religius negatif atau disebut juga dengan
larangan. Tindakan religius dalam bentuk negatif berhubungan dengan kekuatan
suci yang menyebabkan bahaya. Misalnya, larangan untuk tidak bermain di pantai
karena pantai itu adalah pantai suci. Bila dipikir secara rasional maka kenapa
harus takut bermain di pantai, padahal bila ditinjau dari dengan mata fisik,
pantai yang dilarang tersebut juga merupakan pantai yang normal seperti
pantai-pantai pada umumnya. Tetapi, larangan untuk tidak bermain di pantai
tersebut tetap harus dipatuhi oleh manusia. Bila ada manusia melanggar larangan
itu, maka jiwa manusia yang melanggar tersebut akan berada dalam bahaya. Berada
dalam bahaya ini tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia. Oleh karena
itu kejadian berada dalam bahaya ini menjadi misteri. Artinya ada kekuatan
misterius atau kekuatan suci yang mendorong manusia untuk menjauhkan diri dari
bahaya tersebut. Dari kejadian ini maka muncul rasa ketakuan manusia untuk
tidak mendekatkan diri pada kekuatan suci.
Larangan yang memunculkan ketakutan akan kekuatan misterius yang mengancam jiwa
atau ruh manusia tersebut disebut Frazer dengan istilah ‘tabu’ (dalam Soderblom, 1911). Frazer menjelaskan tabu berhubungan dengan ruh atau jiwa,
sehingga untuk menyelamatkan ruh atau jiwa tersebut dari bahaya muncul larangan
seperti “jangan begini” atau “tidak boleh begitu” agar ruh atau jiwa manusia
tetap aman dan terhindar dari bahaya. Istilah tabu yang dimaksud oleh Frazer, disebut Soderblom dengan istilah
kesucian primitif (1980). Soderblom menjelaskan bahwa manusia primitif belum
mampu membedakan sesuatu yang suci dan sesuatu yang kotor karena keterbatasan
ilmu pengetahuan mereka, sehingga pada tabu masih terdapat ketidakjelasan
antara yang suci dan kotor.
Soderblom
menyebutkan ada tiga model bentuk hubungan antara suci, profan, bersih, dan
kotor (1980). Ketiga model tersebut dijelaskan sebagai sebuah tahap evolusi.
Artinya, model pertama adalah model awal konsep antara suci, profan, bersih,
dan kotor pada masyarakat primitif. Model pertama ini kemudian berubah menjadi
model kedua. Lalu model kedua berevolusi lagi menjadi model ketiga sebagai
tahap terakhir. Model pertama dijelaskan Soderblom bahwa yang suci adalah yang
kotor, dan yang profan adalah yang bersih (1980). Sebagai contoh religi Yahudi
kuno menyebutkan bahwa babi adalah binatang yang kotor. Karena babi adalah
binatang yang kotor atau terkutuk, maka babi tidak boleh dimakan oleh manusia.
Kemudian gagasan kolektif masyarakat yang menganggap bahwa babi itu tidak boleh
dimakan memunculkan pengertian bahwa babi memiliki kekuatan misterius atau
suci, sehingga babi dianggap sebagai binatang suci. Jadi memakan babi adalah
sesuatu yang dilarang atau tabu. Memakan
babi tidak boleh dilakukan manusia karena bisa mendatangkan ancaman atau bahaya
bagi manusia. Bukan hanya dalam religi Yahudi saja, banyak religi lain juga
yang menggunakan konsep suci seperti model pertama ini, sehingga dalam
pengertiannya suci berarti kotor. Misalnya seperti contoh yang terdapat pada istilah
‘suci’ dalam bahasa latin kuno yang memiliki arti ‘terkutuk’. Dalam model
pertama ini, segala hal yang kotor, tercemar, terkutuk, tidak bersih disebut
sebagai sesuatu yang suci. Sedangkan lawannya, segala hal yang bersih disebut
sebagai yang profan. Menurut Soderblom ini adalah model yang merujuk pada
kesucian primitif. Susunan pemetaan antara suci, profan, bersih, dan kotor
tergambar seperti tabel di bawah ini.
Tabel
1: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Pertama
Suci
|
Kotor
|
Profan
|
Bersih
|
Sumber:
Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume
VI
Model
kedua yang dinyatakan Soderblom bahwa segala hal yang suci adalah sesuatu yang
bersih, dan lawannya segala hal yang profan adalah sesuatu yang kotor (1980).
Dalam model kedua, yang bersih berada di dalam ruang lingkup kesucian. Pada
tahap model kedua ini manusia mulai berfikir bahwa kesucian tidak boleh
dianggap sebagai larangan seperti yang ada pada model pertama. Profan pada
model kedua ini dipandang lebih rendah karena meliputi segala sesuatu yang kotor.
Sementara suci dianggap sebagai istilah yang derajatnya lebih tinggi karena
meliputi segala sesuatu yang bersih. Konsep kesucian disini mengacu kepada yang
bersih karena konsep bersih pada model kedua ini merujuk pada segala sesuatu
yang tidak biasa digunakan oleh manusia. Sebaliknya, segala sesuatu yang biasa
digunakan oleh manusia atau disebut dengan profan mengarah kepada yang kotor
atau tercemar karena biasa digunakan oleh manusia. Pemikiran ini menyebabkan
bahwa segala sesuatu yang kotor masuk ke dalam ruang lingkup profan. Susunan
pemetaan antara suci, profan, bersih, dan kotor pada model kedua tergambar seperti
bagan di bawah ini.
Tabel
2: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Kedua
Suci
|
Bersih
|
Profan
|
Kotor
|
Sumber:
Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume
VI
Pada
tahap evolusi ketiga, Soderblom menjelaskan bahwa dalam model ini terdapat tiga
struktur (1980). Pada struktur pertama sebagai struktur tertinggi adalah
kesucian. Kedua adalah bersih dan biasa. Ketiga sebagai stuktur terendah adalah
tidak bersih atau kotor. Pada struktur pertama, kesucian dianggap sebagai
sesuatu kekuatan yang terlalu misterius, terlalu kuat, dan bersifat ketuhanan. Istilah
‘suci’ ini berada paling tinggi derajatnya daripada tiga istilah lainnya. Kosep
suci pada model ketiga ini mengacu kepada segala macam kekuatan misterius yang
menakjubkan. Sodeblom sengaja memisahkan antara suci dengan tabu. Tabu yang
mendatangkan bahaya tersebut kemudian digolongkan ke dalam segala hal yang
kotor. Artinya, segala hal yang kotor akan mendatangkan ancaman atau bahaya. Tabu merupakan wujud kekuatan suci berupa
larangan untuk menjauhkan diri dari ruang lingkup kotor. Bertolak belakang
dengan suci, kotor diletakan dalam struktur yang paling bawah, sehingga kotor
dianggap sebagai yang paling buruk. Derajat kotor adalah yang paling rendah
dari pada tiga konsep lainnya yakni suci, profan, dan bersih. Kemudian istilah-istilah
yang berada di tengah-tengah antara suci dan kotor adalah bersih dan profan atau
biasa. Segala macam hal yang bersih masuk ke dalam wilayah profan. Pada model
ini dijelaskan bahwa profane adalah atau segala hal yang bersih. Profan adalah
segala hal yang biasa digunakan oleh manusia sehari-hari. Segala hal tersebut
bersifat bebas untuk digunakan sehari-hari. Karena profan adalah bersih maka yang
digunakan sehari-hari secara bebas ini adalah segala macam hal yang bersih, dan
tidak tergolong ke dalam wilayah yang kotor. Dengan demikian, yang bersih menjadi
yang biasa digunakan sehari-hari, dan yang biasa digunakan sehari-hari disebut
sebagai profan, sehingga yang bersih menjadi yang profan. Susunan pemetaan
antara suci, biasa, bersih, dan kotor tergambar seperti bagan di bawah ini.
Tabel
3: Hubungan Antara Suci, Profan, Bersih, dan Kotor Model Ketiga
Suci
|
|
Bersih
|
Biasa
|
Kotor
|
Sumber:
Ensiklopaedia Religion and Ethic Volume
VI
Soderblom menyebutkan bahwa segala
hal dan benda di dunia ini harus disucikan agar berada dalam ruang lingkup
bersih (1980). Yang dimaksud dengan disucikan oleh Soderblom adalah mengangkat
status sesuatu yang profan dan berada dalam ruang lingkup kotor menjadi ada
dalam ruang lingkup bersih dengan bantuan kekuatan suci. Segala hal dan benda
tersebut harus dipertahankan atau dilindungi agar tidak masuk ke dalam wilayah
yang kotor agar bisa digunakan oleh manusia sehari-hari secara bebas. Soderblom
juga menyatakan bahwa ada berbagai macam objek yang mempunyai kekuatan kesucian
sebagai wujud dari kesucian. Objek-objek tersebut dapat ‘men-suci-kan’ segala
macam hal dan benda agar berada di ruang lingkup bersih (1980). Objek-obek itu
bisa bermacam-macam seperti binatang, elemen, tumbuhan, dan sebagainya. Contoh
objek binatang yang memiliki kekuatan suci adalah sapi dalam masyarakat India. Sedangkan
contoh elemen yang memiliki kekuatan suci dapat berupa air, api, tanah, dan
sebagainya. Adanya upaya manusia untuk mempertahankan atau melindungi segala macam
hal dan benda agar berada dalam ruang lingkup yang bersih menggunakan
objek-objek yang memiliki kekuatan suci ini disebut Soderblom dengan istilah
‘purifikasi’ (1980). Maka purifikasi
menjadi proses yang harus dilalui untuk mengubah sesuatu yang kotor menjadi
yang bersih.