Dia yang Tidak Berubah

  Sepertinya buku itu sudah terjual. Sial benar. Padahal aku sudah mempunyai cukup uang untuk membeli buku itu, tetapi sepertinya sudah dibeli lebih dahulu oleh orang lain. Percuma dong aku datang ke toko buku ini. Benar-benar sial. Tetapi ya sudahlah, daripada menggerutu lebih baik aku membaca saja dulu di sini.
  Ketika pikiranku sudah melayang karena membaca buku, tiba-tiba saja seperti ada yang memanggilku.
   Hei Ian, apa kabar?”
  Benar saja ada yang memanggilku. Kira-kira siapa ya? Aku menoleh ke arah belakang dan ternyata benar saja dia yang tadi memanggilku. Dia tepat berdiri di belakangku. Wajahnya putih bersih den tersenyum dengan lesung pipinya. Kerudung bermotif warna hijau menghiasi kepalanya. Ia mengenakan sweeter berwarna hijau muda dan celana jeans. Sepertinya aku mengenal orang ini. Tapi aku lupa namanya siapa.
  “Hei Ian, sombong sekali nih, bagaimana kabarmu?”
  Ah tidak, maaf ya, aku baik, bagaimana denganmu?”
  “Aku juga baik, sudah lama ya tidak bertemu.”
  “Iya sudah lama sekali ya.”
  Ah aku baru ingat. Rupanya dia. Teman lamaku ketika SD. Dulu ia tidak berkerudung. Pantas saja aku susah mengenalinya. Tidak aku sangka akan bertemu lagi dengan dia setelah terakhir kali acara perpisahan SD.
  “Sedang baca buku ya Ian?”
  “Iya, ah tidak, sebenarnya tadi aku sedang mencari buku untuk dibeli, tapinya sudah habis stoknya.” Saat ini aku sedang malas mengobrol dengan orang lain. Semua ini karena buku yang ingin aku beli sudah tidak ada. Membuat aku jadi malas melakukan apa-apa. Tapi biarkan sajalah. “Kamu sendiri sedang apa di sini, mencari buku juga?”
  “Iya, hanya mencari buku novel saja.”
 “Kamu masih suka membaca novel ya.” Aku tahu karena dulu aku pernah ke rumahnya. Ternyata dia memiliki banyak koleksi novel. Tapi sanyangnya itu novel romantis yang sebenarnya tidak cocok untuk dibaca anak SD.
  Kemudian kami membicarakan tentang banyak hal. Tentang hobi, kesibukan, dan juga kehidupan kami masing-masing belakangan ini.
  oh iya ngomong-ngomong Ian, kamu masih menyimpan jam itu tidak.”
  “Jam?”
  “Iya, Jam yang aku beri ke kamu ketika waktu SD dulu.”
  “Oh iya, masih aku simpan kok, jam berwarna ungu dan berbentuk gitar.” Sebenarnya sih aku tidak ingat jam itu ada dimana. Mungkin sudah berada di gudang. Tapi aku tidak enak hati, mana mungkin aku bilang yang sebenarnya. “Jam itu masih ada kok, tenang saja.”
  Wah, terima kasih ya sudah dijaga.”
  “Memangnya kenapa sih kamu memberi aku jam itu?”
  Masa kamu tidak mengerti sih.
 “Ya sebenarnya aku mengerti, tapi kenapa dulu kamu memberikan aku jam itu, padahal waktu itu kita masih SD loh.” Iya, yang benar saja. Aku pikir anak SD mana mungkin sudah bisa menyukai lawan jenis. Bukankah pikirannya masih tentang bermain saja.
  “Iya aku tahu, tapi ya mau bagaimana lagi, memangnya tidak boleh ya suka sama orang lain?”
  Wajahnya ceria sekali, seperti mengolok-olok aku saja. Di umurku yang sudah dewasa ini, aku memang mengerti perasaannya yang sudah bisa menyukai lawan jenis. Berbeda dengan aku yang dulu. Ketika SD aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia suka melakukan sesuatu hal untuk menarik perhatianku. Aku pikir dia melakukan itu karena sengaja mengajakku bermain. “Kamu ini bisa saja.”
  Hey kamu ingat tidak Ian, dulu aku sering mengajakmu untuk pulang bareng?”
  “Iya aku ingat kok, tapi aku selalu menolak, sampai suatu hari kamu pernah memaksa aku untuk pulang bareng.”
  “Habisnya kamu menyebalkan, diajak pulang bareng aja susah banget, terpaksa deh aku minta bantuan teman-teman kita supaya kita bisa pulang bareng.
  “Waktu kecil aku malas pulang berdua saja denganmu, lebih baik aku pulang bersama teman-teman yang lain.”
  Oh begitu, lalu kalau sekarang diajak pulang bareng gimana?”
  “Sialan. tetep nggak mau, kamu cerewet sih, ngomong melulu”
 Hahaha, nggak apa-apa, setidaknya dulu aku ingat sering duduk sebangku denganmu”
  “Iya duduk sebangku sih sebangku, tapi diantara murid-murid yang lain, cuma kita doang tahu yang duduk sebangku cewek dan cowok”
  Biarin aja, kan jadinya mencolok tuh di kelas”
  “Sial kamu”
  “Ian, kalau sekarang, kamu mau nggak jadi pasanganku, kalau dulu kan aku sering dekat sama kamu tapi belum pernah bilang seperti itu”
  Ya ampun. Anak ini kenapa? Nekat sekali. Padahal baru beberapa jam yang lalu bertemu. Tapi sudah berani berbuat seperti ini.
  “Sudah, jawab saja iya, cuma pasangan sebentar doang kok.
  Sebentar katanya? Mungkin tidak apa-apa. Lagipula saat ini aku memang tidak punya pasangan.“Iya deh.”
  Hahaha, terima kasih ya.”
  “Iya sama-sama.”
  “Tapi sepertinya hubungan kita cuma di sini, karena besok aku sudah tidak di sini lagi.”
  Loh memangnya mau kemana?”
  “Aku harus pergi ke luar negeri, aku kuliah di sana.”
  Oh begitu ya.” Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihatnya lagi di sekitar kota ini. Rupanya dia sudah kuliah di luar negeri. Hebat sekali. Aku juga sebenarnya ingin berkuliah di luar negeri.
  “Sepertinya sudah sore, sudah dulu ya, aku harus pulang, dah!"
  Apa selama ini dia memperhatikan aku? Seperti sering membuka jejaring sosial milikku. Apa yang selama ini dia pikirkan, aku sama sekali tidak mengerti. Tapi Biar bagaimanapun juga, dia tetap anak SD yang aku kenal dulu.