Nilai-nilai timur dan barat telah membentuk kepribadian serta visi Hatta (1902-1980) tentang keadilan sosial menenai masalah-masalah politik kenegaraan. Hatta sangat percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik yang cocok bagi Indonesia dimasa depan. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Soekarno, yaitu ketika masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hatta menilai sistem Demokrasi Terpimpin sebagai sistem otoriter yang menghalangi sistem demokrasi. Walaupun pendapatnya berbenturan dengan Soekarno, Hatta lebih memilih untuk mengalah terhadap Soekarno. Meskipun tertindas seperti itu, bagi Hatta, demokrasi tidak akan pernah lenyap dari Indonesia.
Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, lalu prinsi-prinsip ini juga dinilai sebagai sebagai tujuan dari demokrasi. Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin adanya demokrasi di Indonesia. Bagi Hatta, ketiga hal tersebut merupakan suatu kombinasi organik yang memberi pengaruh besar dan bercorak sosio religius. Hal ini memberi keyakinan bahwa demokrasi telah lama ada di Indonesia, dan tidak terbatas hanya di desa-desa. Jika pada kenyataannya 70% rakyat indonesia tingal di desa-desa, maka harusnya sistem demokrasi adalah sistem yang paling cocok bagi Indonesia.
Periode demokrasi terpimpin dan periode demokrasi Pancasila (Orde Baru) ditandai oleh berlakunya sistem politik otoriter dengan budaya feodalisme baru. Hatta sangat prihatin melihat perkembangan politik kurang pantas seperti itu, tetapi kedua regim tersebut tidak mau mendengar pendapat Hatta, yang pada akhirnya mereka hancur dengan cara yang destruktif.
Pemikiran Hatta tentang keadilan sosial dapat terlihat pada saat beliau berbicara tentang Pancasila, suatu dasar yang dijunjung secara sungguh-sungguh baik secara teori maupun praktek. Bagi Hatta sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan prinsip yang membimbing cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual ini memberikan bimbingan kepada semua pihak bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Lalu, sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” adalah kelanjutan dari sila pertama sebagai prakteknya. Begitu pula sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima yakni “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menurut Hatta, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila.
Hatta adalah sosok pemimpin yang tidak takut berhadapan dengan situasi terburuk sekalipun. Pada dasarnya Hatta adalah seorang demokrat yang cinta damai dalam memperjuangkan perubahan. Tetapi bila tidak ada jalan lain, kekerasan pun bukanlah halangan demi mencapai kebenaran dan keadilan. Seperti pada masa revolusi, Hatta menyampaikan pidatonya sebagai ketua Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada tanggal 17 Januari 1926.
“Aku telah menyebutkan bahwa imperialisme Barat harus disudahi untuk kepentingan kemanusiaan dan setiap bangsa yang terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan diri. Dan karena itu Indonesia harus mencapai kemerdekaannya atas dasar kemanusiaan dan peradaban. Dan aku kuatir bahwa satu-satunya jalan untuk melaksanakan itu … tidak lain kekerasan”
Menurut Hatta bangsa yang ingin merdeka secara keseluruhan harus mengalami sosialisasi. Jika tidak demikian, kemerdekaan itu hanyalah menjadi milik sekelompok kecil dari orang-orang tertentu. Hatta ingin agar kemerdekaan itu menjadi milik semua kalangan, tanpa melihat perbedaan suku, agama, dan latar belakang sejarah. Dengan demikian nasionalisme Indonesia dapat difungsikan pada tindakan nyata.
Dalam masalah kebangsaan, Hatta menunjuk teori-teori Sarjana Barat Ernest Renan, Offo Bauer dan Lothrop Stoddard. Hatta menegaskan bahwa bangsa ditentukan oleh kesadaran sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu kesadaran yang muncul karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Kesadaran yang bertambah besar karena keberuntungan atau kemalangan yang sama-sama didapat. Yakni kesadaran terhadap riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.
Menurut Hatta batas negara yang harusnya dibentuk hanya mencakup wilayah Hindia Belanda saja. Beliau menolak pemikiran Mohammad Yamin yang menghendaki perluasan wilayah Indonesia. Pendapat Yamin dikhawatirkan akan memberi kesan imperialisme yang selama ini mereka tentang habis-habisan. Bahkan Hatta berpendapat bahwa, apabila Papua (Irian Barat) karena suatu hal tidak bersedia masuk menjadi bagian Indonesia, seharusnya hal tersebut bukan merupakan masalah. Yang terpenting menurut Hatta, jangan ada pemaksaan untuk bergabung dengan negara yang akan dibentuk, sebab wilayah bekas jajahan Hindia Belanda untuk negara Indonesia sudah cukup luas.
Menurut Hatta, sejarah dunia cukup memberi bukti pada setiap bangsa yang dinamis untuk kemerdekaan bangsanya. Cita-cita internasionalisme pada akhirnya kalah oleh semangat kebangsaan. Bung Hatta mendukung pernyataan tersebut, Beliau menunjuk kepada ketidakberhasilan Partai Buruh di Inggris untuk manjalin persaudaraan dengan orang-orang Irlandia. Hatta memandang bahwa cita-cita persatuan kemudian muncul dari negeri Industri, ketika rakyat yang mejadi buruh sebenarnya bukan terlepas dari hukum feodalisme, melainkan berubah menjadi sistem pabrik dan disiplin kerja. Sebagai rujukan Bung Hatta dalam hal ini adalah negara Inggris yang merupakan negara Industri. Sedangkan rujukannya untuk negeri agraris yang lambat persatuannya adalah Italia. Jadi kedudukan bangsa tidak ditentukan oleh bahasa yang sama, dan agama yang serupa, melainkan oleh kemauan untuk bersatu, dimana ada kemauan untuk bersatu dalam ikatan yang bernama bangsa, maka disanalah akan muncul kebangsaan.
Dalam masalah HAM, usaha Hatta yang paling terlihat adalah memasukkan beberapa ketentuan HAM ke dalam UUD yang pada saat itu sedang disusun. Ketika itu mayoritas peserta sidang tidak memperdulikan masalah HAM, karena menganggap bahwa masalah tersebut sangat bersifat Barat, yang pada waktu tersebut seolah menjadi barang yang haram untuk ditiru. Soepomo yang mengajukan bentuk negara yang integralistik menganggap bahwa HAM tersebut dianggap berlebihan, dan akan berdampak negative karena sebagai hak-hak perorangan akan membawahi kepentingan bersama. Pendapat Soepomo didukung oleh Soekarno yang menganggap bahwa hal individualis akan menimbulkan konflik dalam negara, jika masalah HAM dimasukan ke dalam UUD. Sedangkan Hatta menganggap bahwa hal tersebut sangat penting untuk dimasukan ke dalam UUD. Usul Bung Hatta mendapat dukungan dari Mohammad Yamin. Akhirnya karena usaha yang keras Bung Hatta, Indonesia memiliki pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tanpa pasal 28 UUD 1945, hanya akan menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kekuasaannya diberikan kepada para pemimpin, kekuasaan dengan asumsi para pemimpin adalah negarawan tanpa pamrih pribadi.
Pada tulisan Hatta “Tuntut Kemerdekaan Pers” (1931) Hatta menulis, “Kemerdekaan tiap-tiap orang berbicara menulis mencetak dan membentangkan pikirannya, sedangkan yang ditulisnya itu tidak guna diperiksa lebih dulu oleh yang berkuasa”. Hal ini berhubungan dengan usahanya dalam sidang BPUPKI ketika Hatta mengusulkan untuk memasukkan masalah tersebut, yang pada akhirnya kemudian kita kenal dengan pasal 28 UUD 1945.
Masalah lain yang diperjuangkan Hatta dalam rangka penyusunan UUD 1945 adalah dengan keberhasilannya memasukkan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada pasal 33 sebelum diamandemen yang berbunyi:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Dari isi pasal 33 ini sangat jelas bahwa HAM dalam pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia cukup dijamin. Dari sinilah terbukti keberhasilan Hatta yang sangat nyata dalam memperhatikan rakyat, yakni terwujud dalam UUD 1945.