Kebijakan Politik Sakoku Negara Jepang pada Zaman Edo

   Masuknya agama Kristen ke Jepang pada mulanya mendapat sambutan yang baik. Khususnya dari tiga orang daimyo (sebutan untuk tuan tanah di Jepang) di daerah barat daya Jepang. Ketiga orang tersebut adalah Otomo dari wilayah Kyusu, lalu Takayama Ukon dari wilayah Keiki, dan Omura dari wilayah Nagasaki. Menurut ketiga orang ini, setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi daya tarik agama Kristen dapat diterima di Jepang. Yang Pertama, dengan mengizinkan penyebaran agama Kristen, maka secara tidak langsung beberapa barang bahan peledak dan senjata pun dapat ikut masuk ke wilayah Jepang. Kedua, dengan memperbolehkan pendirian sekolah agama Kristen, maka berbagai perkembangan yang terjadi di barat secara tidak langsung dapat diketahui oleh Jepang. Dan yang terakhir adahal pendirian rumah sakit dan rumah yatim piatu sebagai misi agama Kristen di Jepang pada saat itu. Dengan adanya beberapa keuntungan tersebut, agama Kristen mulai berkembang di kalangan rakyat.

   Lalu kemudian pada tahun 1582, ketiga daimyo tersebut, mengirimkan empat orang pemuda ke Roma untuk menghadap Paus dan memperdalam pelajaran agama Kristen. Misi ini setidaknya mendapat sambutan yang hangat di Eropa. Dengan memakan waktu selama delapan tahun, mereka berempat pun kembali ke Jepang dan mengajarkan apa saja yang sudah mereka pelajari di Eropa. Tetapi yang paling berarti adalah mereka pada waktu itu berhasil mempelajari teknik mencetak.

   Pada periode sejarah Jepang berikutnya, di masa Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), agama Kristen mulai tertekan. Penyebabnya adalah karena banyak sekali daimyo di wilayah Kyusu yang menghadiahkan tanahnya kepada para misionaris agama Kristen untuk dijadikan pembangunan gereja. Dengan tidak adanya tanah, maka para petani pun tidak lagi bekerja sebagai petani. Mereka kemudian beralih profesi menjadi buruh. Ditambah lagi, Portugis yang pada saat itu berperan dalam penyebaran agama Kristen, ternyata malah melakukan perdagangan buruh. Tentu saja hal ini membuat Toyotomi Hideyoshi mengambil tindakan keras terhadap penyebaran agama Kristen. Akhirnya pada tahun 1587, Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan pertintah untuk melarang penyebaran Agama Kristen di Jepang. Para misionaris agama Kristen pun kemudian dilarang menyebarkan agama Kristen dam semua pengiriman misionaris ke negeri, khususnya ke barat, pun kemudian dilarang.

   Kemudian pada periode sejarah Jepang berikutnya, zaman Edo masa pemerintahan Tokugawa Ieasu, agama Kristen mendapatkan tekanan yang sama kerasnya seperti masa Toyotomi Hideyoshi. Di tahun 1612 Tokugawa Ieasu mengeluarkan perintah larangan yang sangat keras terhadap masuknya agama Kristen. Para pendeta diusir ke luar Jepang dan para pengikutnya dipaksa untuk meninggalkan agama Kristen dan menggantinya dengan agama Budha. Kemudian, banyak pula gereja-gereja yang ikut dihancurkan.

   Larangan agama tersebut kemudian lanjutkan dengan sebuah peraturan baru. Peraturan di mana warga Jepang dilarang pergi ke luar Jepang pada tahun 1635. Dengan begini warga Jepang benar-benar tidak bisa pergi meninggalkan Jepang, dan hanya bisa berada di dalam wilayah Jepang. Kebijakan lain kemudian dibuat lagi oleh pernerus keluarga Tokugawa, yaitu Tokugawa Iemitsu, dimana pemerintahan Jepang melakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan negara lain pada tahun 1639, mengingat salah satu slogan pelayaran bangsa barat selain perdagangan adalah penyebaran agama. Selama periode inilah mulai berlaku politik luar negeri sakoku, atau politik negara isolasi. Sakoku secara harfiah berarti negara tertutup. Sejak Tokugawa mengeluarkan perintah pada tahun 1939, maka semenjak itulah negara Jepang memberlakukan politik sakoku.

   Selama lebih dari dua ratus tahun Jepang memberlakukan isolasi negeri Jepang. Kebijakan ini terus dilakukan berturut-turut selama pemerintahan keluarga Tokugawa. Akibat adanya kebijakan isolasi ternyata memberikan dampak negative bagi warga Jepang yang berada di luar wilayah Jepang. Mereka tenyata tidak mendapatkan izin untuk kembali ke wilayah Jepang, sehingga mereka hanya bisa tinggal di luar wilayah Jepang. Di sisi lain, kebijakan isolasi juga memberikan dampak positif bagi Jepang. Selama berlakukanya politik isolasi, maka banyak pengaruh dari luar Jepang yang tidak bisa masuk ke dalam wilayah Jepang. Bagi Jepang ini adalah masa ketika kebudayaan asli Jepang dapat berkembang secara bebas, tidak lagi mendapat pengaruh dari luar. Memang pada masa dulu kebudayaan Jepang sangat mendapat pengaruh yang kuar dari Cina, tetapi semenjak berlakunya politik isolasi, banyak sekali muncul kebudayaan-kebudayaan baru yang benar-benar murni hasil keratifitas masyarakat Jepang.

   Di bidang agama, ajaran agama Budha dan Konfusianisme dikembangkan ke seluruh lapisan masyarakat Berbeda sekali dengan negara Cina yang hanya menerapkan ajaran Konfusianisme di kalangan bangsawan saja, Jepang benar-benar menerapkan ajaran ini ke dalam setiap lapisan masyarakat. Pada masa isolasi ini, ajaran Konfusianisme merupakan ajaran pokok yang harus dipelajari oleh setiap masyarakat Jepang.

   Selama masa isolasi, hubungan antara Jepang dengan negara-negara luar, khususnya barat, tidak putus begitu saja. Karena penyebab dari terjadinya masa isolasi adalah penyebaran agama Kristen, maka Jepang masih memberikan tenggang rasa terhadap negara-negara luar yang melakukan hubungan dangan dengan Jepang tanpa membawa-bawa penyebaran agama Kristen. Akhirnya satu-satunya bansa Eropa yang diizinkan berdagang dengan Jepang adalah Belanda. Kantor dangannya pun hanya diizinkan berada di wilayah pingiran, tepatnya di Pulau Dejima Perfektur Nagasaki.

   Melalui Pulau Dezima, ternyata pemerintahan Jepang juga memaksa kapal-kapal V.O.C. (perusahaan dagang milik Belanda) yang singgah di Pulau tersebut untuk memberikan informasi mengenai perkembangan yang terjadi. Kapal-kapal tersebut kebanyakan berlayar dari Eropa menuju Batavia (sekarang bernama Jakarta). Dengan memperoleh informasi dari situ, Jepang tidak akan tertinggal jika terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang berada di Eropa. Hal yang sama juga terjadi sebaliknya, ketika kapal V.O.C. tersebut berangkat dari Batavia ke Eropa, maka kapal tersebut biasanya terlebih dahulu singgah di Pulau Dezima. Kemudian ketika singgah di  Pulau tersebut, awak kapalnya wajib memberikan segala informasi yang ia ketahui, sehingga dengan cara ini pemerintahan Jepang tidak akan ketinggalan informasi baik dari Eropa maupun Asia Tenggara.

   Meskipun Belanda mendapatkan izin untuk memasuki wilayah Jepang, tetapi pemerintah Jepang melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap keberadaan Belanda. Bangsa Belanda tidak diizinkan sama sekali untuk keluar dari wilayah Dejima. Meskipun demikian, ada beberapa saat dimana Belanda dapat pergi ke wilayah Jepang lainnya, yaitu ketika pemerintah Jepang memberlakukan kebijakan dimana dalam satu tahun sekali Belanda harus melakukan kunjungan ke pusat pemerintahan Jepang tempat shogun (penguasa Jepang pada waktu tersebut) berada.

Bibliografi
Surajaya, I Ketut. 1996. Pengantar Sejarah Jepang. Depok: UI Press
Beasley, WG. 1999. The Japanese Experience, A Short History of Japan. London: The Orion Publishing Group Ltd